LATAR BELAKANG
Lahan atau hutan gambut global memiliki peran penting sebagai penyimpan karbon, dengan perkiraan cadangan antara 500–700 gigaton karbon (Gt C), yang setara dengan hampir seluruh cadangan karbon atmosfer dunia (sekitar 850 Gt C), dan mencakup 20%–30% dari total karbon terestrial. Meskipun hanya sekitar 15% lahan gambut global berada di wilayah tropis, sebagian besar cadangan karbon tropis terkonsentrasi di Asia Tenggara, di mana wilayah ini menyimpan sekitar 65% dari total karbon gambut tropis. Namun, lahan gambut di Asia Tenggara sedang menghadapi ancaman besar akibat perubahan iklim, penurunan curah hujan, pengeringan lahan, serta kebakaran yang semakin sering terjadi. Indonesia memiliki sekitar 14,9 juta hektar lahan gambut tropis (sekitar 8% dari total luas daratannya) yang sebagian besar tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Paper Ilmiah ini secara khusus berfokus pada Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, yang mencakup sekitar 56% dari total luas lahan gambut di Pulau Kalimantan dan sekitar 18% dari total lahan gambut di Indonesia.
Di Kalimantan Tengah hampir setiap tahun terjadi kebakaran lahan dan hutan. Pembukaan lahan dengan pembakaran secara besar-besaran dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan proyek lahan gambut yang sangat luas. Tanah gambut yang belum kering sepenuhnya terbakar secara tidak sempurna pada suhu rendah, menghasilkan emisi polutan yang tinggi seperti partikel, karbon monoksida, dan senyawa aromatik polisiklik atau biasa disebut PAC. Selama kebakaran di Indonesia, konsentrasi PM2.5 (partikel berukuran kurang dari 2,5 μm) sangat tinggi. Penelitian telah menunjukkan hubungan antara paparan PM2.5 dengan dampak kesehatan, termasuk diantaranya morbiditas pernapasan dan kardiovaskular (seperti asma, gejala pernapasan, peningkatan rawat inap), serta kematian akibat penyakit kardiovaskular, pernapasan, dan kanker paru-paru. (Hein et al, 2022)
Dengan dampak yang meluas pada ekosistem, kesehatan masyarakat, dan iklim global, pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan harus dipandang secara serius, khususnya di daerah Kalimantan. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta kebakaran, yang khususnya perlu difokuskan, merupakan prasyarat dalam mencari keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Oleh karena itu, langkah-langkah kebijakan yang tepat dan pendekatan ilmiah yang didasarkan pada bukti sangat penting untuk meminimalisir risiko kebakaran lahan gambut serta efek berdampak di masa mendatang.
Rumusan Masalah
- Bagaimana deforestasi dan faktor cuaca ekstrem berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi dan intensitas kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah?
- Apa dampak kesehatan yang dialami masyarakat akibat paparan asap dan polusi udara dari kebakaran lahan gambut, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun faktor alam?
- Bagaimana kebakaran lahan gambut yang disebabkan oleh deforestasi dan cuaca ekstrem mempengaruhi kondisi ekosistem dan keanekaragaman hayati di Kalimantan Tengah?
Tujuan Penelitian
- Untuk menganalisis hubungan antara deforestasi, kondisi cuaca ekstrem, dan frekuensi kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah.
- Untuk mengevaluasi dampak kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh paparan asap dan polusi udara akibat kebakaran lahan gambut, dengan mempertimbangkan peran faktor alam dan manusia.
- Untuk mengidentifikasi dampak kebakaran lahan gambut terhadap kerusakan ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati, baik akibat deforestasi maupun perubahan cuaca yang ekstrem
PEMBAHASAN
Kontribusi deforestasi selama 30 Tahun terhadap Kebakaran Gambut
Deforestasi di Kalimantan Tengah berdampak signifikan pada peningkatan frekuensi dan intensitas kebakaran lahan gambut. Setelah melalui proses pengeringan dan penebangan hutan secara selektif, area gambut menjadi lebih rentan terhadap kebakaran. Kebakaran berulang yang sering terjadi di daerah-daerah kering ini mempercepat degradasi hutan gambut, mengakibatkan lebih dari 72% hutan gambut hilang dalam beberapa dekade terakhir. Proses pengeringan ini mengurangi kelembaban alami yang biasanya dipertahankan oleh tutupan pohon, sehingga lahan gambut mudah mengering dan rentan terhadap kebakaran yang dapat berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan (Itoh et al., 2017). Perubahan penggunaan lahan, seperti pembukaan hutan dan drainase, turut mempercepat oksidasi gambut, meningkatkan emisi karbon dioksida, dan memperparah dampak kebakaran di musim kering. Akibatnya, kebakaran berulang tidak hanya merusak vegetasi permukaan, tetapi juga membakar lapisan gambut yang lebih dalam, mengakibatkan kerusakan jangka panjang serta kesulitan dalam pemulihan hutan yang terbakar (Vetrita & Cochrane, 2019).
Deforestasi dan aktivitas manusia lainnya, seperti pengembangan perkebunan kelapa sawit, telah mengurangi kapasitas alami lahan gambut tropis untuk menyerap dan menahan air, yang membuatnya semakin rentan terhadap kekeringan ekstrem. Pengeringan lahan gambut untuk pertanian meningkatkan risiko kebakaran karena tanah menjadi lebih kering dan mudah terbakar, terutama selama periode kekeringan panjang seperti El Niño (Staal et al., 2020). Di Kalimantan Tengah, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tidak hanya meningkatkan emisi karbon, tetapi juga memperburuk risiko kebakaran akibat pengeringan lahan gambut secara luas di wilayah tersebut. Kondisi ekstrim seperti El Niño, yang diperparah oleh perubahan iklim, menurunkan kelembaban lahan gambut dan meningkatkan kerentanan terhadap kebakaran selama musim kemarau berkepanjangan (Dadap et al., 2022). Studi lain menunjukkan bahwa drainase lahan gambut untuk perkebunan memperparah hilangnya kelembaban tanah, sehingga lebih mudah terbakar di musim kering (Imanudin et al., 2021). Penggunaan saluran drainase mempercepat pengeringan lahan gambut, memperbesar risiko kebakaran yang sering terjadi di area perkebunan kelapa sawit (Kartiwa et al., 2023).
Gambar 1. Peta Laju Deforestasi per 5 Tahun Kalimantan Tengah 1990-2020
Sumber: Dokumen pribadi (2024)
Berdasarkan hasil pengolahan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dari data satelit Landsat 5 TM, 7 ETM+, dan 8 OLI yang dilakukan oleh Green Welfare ID, terlihat distribusi spasial deforestasi di Provinsi Kalimantan Tengah dari tahun 1990 hingga 2020, dengan interval lima tahun. Area hijau menunjukkan wilayah yang masih berupa hutan pada tahun 2020, sementara warna lainnya merepresentasikan area yang mengalami deforestasi di periode tertentu. Warna merah menandakan deforestasi paling awal (1990-1995), diikuti warna oranye untuk periode 1995-2000, dan berlanjut hingga periode 2015-2020 yang ditandai dengan gradasi merah ke kuning.
Deforestasi paling intens terlihat di bagian selatan dan tenggara Kalimantan Tengah, terutama di sepanjang garis pantai dan wilayah dekat perbatasan Kalimantan Selatan. Sementara itu, bagian tengah dan utara provinsi masih didominasi oleh area hutan, menandakan bahwa wilayah ini relatif lebih terlindungi dari aktivitas deforestasi. Deforestasi juga terkonsentrasi di sekitar jaringan sungai dan area dengan aksesibilitas yang lebih baik, seperti jalan utama atau jalur transportasi, yang menunjukkan bahwa infrastruktur memainkan peran penting dalam mempercepat hilangnya hutan.
Hasil peta deforestasi di Kalimantan Tengah menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, terutama dengan intensitas deforestasi yang terlihat di beberapa wilayah. Bagian selatan dan tenggara mengalami deforestasi paling parah, yang kemungkinan besar disebabkan oleh pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, atau aktivitas manusia lainnya. Dalam kurun waktu 30 tahun, luasnya area yang hilang, khususnya di kawasan yang seharusnya menjadi penyangga ekosistem cukup mengkhawatirkan. Deforestasi yang berkelanjutan dalam skala besar dapat berdampak serius pada lingkungan, seperti hilangnya keanekaragaman hayati, menurunnya kualitas tanah, meningkatnya risiko bencana alam seperti banjir, serta berkontribusi pada perubahan iklim. Temuan ini menyoroti pentingnya pengelolaan yang lebih baik dan perlunya kebijakan perlindungan hutan yang lebih ketat di wilayah ini.
Gambar 2. Grafik Laju Deforestasi berdasarkan piksel Kalimantan Tengah 1990-2020
Sumber: Dokumen pribadi (2024)
Dari grafik tersebut, terlihat bahwa deforestasi di Kalimantan Tengah mengalami fluktuasi antara 1990 dan 2020. Pada periode 1990-1995, deforestasi mencapai 3.713.615 piksel atau 334.225 hektar. Angka ini meningkat cukup signifikan pada periode 1995-2000, mencapai 6.469.552 piksel atau 582.260 hektar, menunjukkan peningkatan aktivitas deforestasi selama lima tahun tersebut. Selanjutnya, pada periode 2000-2005, terjadi sedikit penurunan dengan 4.393.840 piksel atau 395.446 hektar, namun naik lagi pada periode 2005-2010 menjadi 4.945.061 piksel atau 445.055 hektar. Pada periode 2010-2015, deforestasi meningkat lebih besar lagi, mencapai 6.680.791 piksel atau 601.271 hektar, menandakan bahwa aktivitas deforestasi terus berlanjut. Puncaknya, lonjakan sangat signifikan terjadi pada periode 2015-2020, di mana laju deforestasi mencapai 12.139.806 piksel atau 1.092.583 hektar, hampir dua kali lipat dari periode sebelumnya.
Berdasarkan analisis peta dan grafik laju deforestasi, terlihat bahwa peningkatan aktivitas deforestasi di Kalimantan Tengah, terutama dalam dua dekade terakhir, berkontribusi besar terhadap meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran lahan gambut di wilayah ini. Pembukaan lahan secara masif menghilangkan tutupan hutan yang penting dalam menjaga kelembapan ekosistem gambut. Ketika hutan ditebang dan lahan gambut menjadi kering, terutama di musim kemarau, wilayah ini menjadi sangat rentan terhadap kebakaran. Selain itu, konversi lahan untuk pertanian dan perkebunan, yang sering melibatkan pembakaran, semakin memperburuk situasi. Lonjakan besar dalam deforestasi selama periode 2015-2020, yang mencakup lebih dari satu juta hektar, sangat berkaitan dengan semakin seringnya kebakaran lahan yang sulit dikendalikan karena sifat gambut yang mudah terbakar hingga ke lapisan dalam tanah.
Cuaca ekstrem yang memperburuk Kebakaran Lahan Gambut
Cuaca ekstrem di Kalimantan Tengah, seperti kekeringan yang diperburuk oleh fenomena El Niño, memiliki dampak besar terhadap kebakaran lahan gambut. Kekeringan ini menurunkan muka air tanah, sehingga membuat lahan gambut menjadi lebih rentan terbakar. Di wilayah Kalimantan Tengah, terutama di area proyek Mega Rice (MRP), kebakaran gambut sering terjadi selama musim kemarau, bahkan pada tahun-tahun tanpa fenomena El Niño. Meskipun MRP hanya mencakup sekitar 6% dari Pulau Kalimantan, hampir 20% kebakaran di Kalimantan terjadi di daerah ini. Tujuh wilayah dengan kerentanannya terhadap kebakaran menunjukkan rata-rata titik panas yang tinggi, di mana kebakaran pada lahan gambut dalam sangat aktif. Periode kebakaran aktif di kawasan ini sering ditandai dengan kebakaran hebat akibat terbakarnya lahan gambut dalam yang sulit dipadamkan (Usup & Hayasaka, 2023).
Gambar 3. Kedalaman Gambut dan Jumlah Hotspot Kebakaran Gambut di Kalimantan Selatan Sumber: Usup & Hayasaka, 2023
Gambar tersebut memperlihatkan distribusi kebakaran antara tahun 2002 hingga 2022, yang ditunjukkan melalui jumlah hotspot (HS) untuk setiap sel grid dengan resolusi 0.1° × 0.1° (garis lintang dan bujur). Area MRP mencakup wilayah 1.5–3.5 S, 113–115 E, dengan batas lima blok A hingga E yang digambarkan secara kasar dengan garis merah. Tujuh area yang paling rentan terhadap kebakaran ditandai dengan angka merah. Hotspot (HS) tertinggi tercatat sebanyak 139 di wilayah utara Bahaur. Tiga sel grid dengan jumlah HS tinggi lainnya terletak di blok MRP-Selatan C (Gambar 3). Selain itu, terdapat empat sel grid di Kalimantan Tengah bagian selatan yang jumlah HS-nya melebihi 100 per tahun (Usup & Hayasaka, 2023).
Gambar 4. (a) Jumlah hotspot per bulan (b) Jumlah curah hujan pada tahun kebakaran
Sumber: Usup & Hayasaka, 2023
Setiap grafik batang tahunan pada Gambar 4a dibagi menjadi empat bagian untuk menunjukkan jumlah hotspot (HS) per bulan. Dari bawah ke atas, grafik tersebut menampilkan HS pada bulan Agustus, September, Oktober, dan bulan-bulan lainnya. Gambar 4a dengan jelas menunjukkan bahwa sebagian besar kebakaran terjadi pada bulan Agustus, September, dan Oktober. Grafik batang rata-rata menunjukkan bahwa kebakaran paling banyak terjadi pada bulan September, diikuti oleh Oktober, dan Agustus di urutan ketiga. Perbedaan besar jumlah HS antara "Tahun Kebakaran" dan tahun-tahun dengan kebakaran kecil, seperti 2010, 2020, 2021, dan 2022, berkaitan erat dengan curah hujan pada bulan Agustus, September, dan Oktober. Gambar 4b menunjukkan bahwa curah hujan pada tahun-tahun dengan kebakaran kecil melebihi curah hujan rata-rata (350 mm), sementara pada lima "tahun kebakaran" terbesar, curah hujan tercatat kurang dari 100 mm. Bulan-bulan kekeringan pada lima tahun kebakaran teratas ditunjukkan dengan huruf A (Agustus), S (September), dan O (Oktober). Secara khusus, curah hujan pada tahun kebakaran tertinggi, 2015, hanya 13,2 mm. Kondisi kekeringan pada tahun 2015 merupakan yang terparah dalam 21 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara curah hujan dengan jumlah hotspot, di mana semakin sedikit hujan, semakin banyak hotspot yang muncul (Usup & Hayasaka, 2023).
Kebakaran ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang luas, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati dan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Selain itu, kebakaran lahan gambut melepaskan partikel berbahaya (PM2.5) yang mencemari udara, menimbulkan berbagai masalah kesehatan, seperti peningkatan kasus penyakit pernapasan dan kematian dini akibat polusi udara (Usup & Hayasaka, 2023; Uda et al., 2019). Dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem gambut, hilangnya kemampuan tanah untuk menyimpan air, serta gangguan besar terhadap kehidupan masyarakat lokal, terutama petani yang bergantung pada tanah tersebut (Rozaki et al., 2022).
Selain kekeringan yang disebabkan oleh El Niño, beberapa anomali cuaca lainnya juga turut berkontribusi terhadap kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah. Salah satunya adalah Indian Ocean Dipole (IOD), yang menyebabkan penurunan curah hujan di wilayah tersebut, memperburuk kekeringan, dan menurunkan permukaan air tanah. Hal ini meningkatkan risiko kebakaran di lahan gambut, yang sangat mudah terbakar saat kering. Sebaliknya, La Niña, yang biasanya dikaitkan dengan peningkatan curah hujan, justru dapat memperburuk kondisi pasca-kebakaran dengan menyebabkan banjir pada lahan yang telah terbakar dan menurunkan kualitas struktur tanah (Putra & Hayasaka, 2011).
Anomali angin, seperti Monsoon, juga mempengaruhi penyebaran kebakaran lahan gambut. Angin yang lebih kuat mempercepat penyebaran api dan membawa asap kebakaran ke wilayah yang lebih luas. Penurunan curah hujan dan kenaikan suhu permukaan laut akibat fenomena IOD dan El Niño menciptakan kondisi ideal untuk kebakaran hutan dan lahan gambut, yang tercermin dalam tingginya frekuensi kebakaran selama fenomena tersebut di Kalimantan Tengah pada tahun 2015 (Rahman et al., 2021).
Secara keseluruhan, cuaca ekstrem yang dipicu oleh anomali seperti El Niño, IOD, dan Monsoon semakin memperburuk kondisi lahan gambut di Kalimantan Tengah, menjadikannya lebih rentan terhadap kebakaran yang berkepanjangan dan menyebabkan kerusakan ekologi serta dampak kesehatan yang lebih besar.
Dampak kesehatan yang dialami masyarakat akibat paparan asap dan polusi udara dari kebakaran lahan gambut, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun faktor alam
Peat Fire atau kebakaran hutan atau lahan gambut dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya yakni adanya aktivitas sekelompok masyarakat di dalam kawasan hutan atau yang berbatasan kawasan hutan tersebut. Adapun tujuannya membersihkan lahan untuk keperluan pertanian, perladangan dan sebagainya. Aktivitas ini seringkali terjadi secara legal maupun ilegal yang dimana dapat menyebabkan destruksi secara masif. Kebakaran hutan dan lahan bisa juga disebabkan oleh unsur ketidaksengajaan seperti faktor alam. Diantaranya gesekan ranting dan dahan yang menimbulkan percikan api sehingga menimbulkan kebakaran di sekitarnya. Fenomena El-Nino juga sering disebut dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Paparan asap dari kebakaran gambut menimbulkan bahaya kesehatan yang serius bagi masyarakat dan petugas pemadam kebakaran. Polusi udara partikel (PM2.5) sering digunakan sebagai indikator tingkat paparan asap kebakaran hutan. Kemampuan PM2.5 untuk mencapai bagian terdalam paru-paru dan menembus penghalang udara/darah-otak membuatnya sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Ini tidak hanya menyebabkan atau memperburuk penyakit pernapasan, tetapi juga berdampak pada organ lain seperti jantung, otak, dan organ reproduksi. (Vokina Et al, 2022)
Penelitian dari (Uda et al, 2019) menjelaskan bahwa potensi hasil kesehatan dengan jumlah kematian dini dan kasus penyakit yang dialami oleh penduduk lokal di Kalimantan Tengah karena paparan PM2.5 dalam jangka panjang dengan peningkatan rata-rata PM2.5 tahunan konsentrasi 26 μg/m3 selama 2011 hingga 2015, dengan tabel sebagai berikut
Kasus Kesehatan | Kategori Umur | Estimasi Mortalitas pada semua umur | Estimasi Mortalitas karena Kebakaran (Asap) Gambut | Estimasi Mortalitas karena Kebakaran (Asap) Gambut per 100.000 jiwa |
Mortalitas Prematur | Semua Umur (2.5 × 106 ) | 14,601 | 648 | 26 |
Penyakit Pernafasan Kronis | Semua Umur (2.5 × 106 ) Balita (2.5 × 105 ) | 584 58 | 55 6 | 2 2 |
Penyakit Cardiovascular | Semua Umur (2.5 × 106 ) Dewasa >30 (1.1 × 106 ) | 4818 2144 | 266 119 | 11 11 |
Kanker Paru-Paru | Semua Umur (2.5 × 106 ) Dewasa >30 (1.1 × 106 ) | 292 130 | 95 42 | 4 4 |
Tabel 1. Tabel potensi hasil kesehatan dengan jumlah kematian dini dan kasus penyakit yang dialami oleh penduduk Kalimantan Tengah karena paparan PM2.5 dari 2011 hingga 2015
Dalam penelitian tersebut diperkirakan bahwa paparan jangka panjang terhadap PM2.5 dari asap gambut, selama periode 5 tahun (2011–2015), menyebabkan 648 kasus kematian dini per tahun (26 kasus kematian per 100.000 orang). Ini termasuk 55 kasus kematian akibat penyakit pernapasan kronis, 266 kasus kematian akibat penyakit kardiovaskular, dan 95 kasus kematian akibat kanker paru-paru. Perlu dicatat bahwa kasus kematian akibat penyakit pernapasan kronis termasuk 6 kasus kematian anak di bawah usia 5 tahun (setara dengan 2 kasus kematian per 100.000 anak di bawah usia 5 tahun).
Pengaruh intensitas kebakaran lahan gambut akibat deforestasi dan cuaca ekstrim terhadap kondisi ekosistem keanekaragaman hayati di Kalimantan Tengah
Gambar 5. Grafik luas Karhutla di Kalimantan Tengah 2018-2023 Sumber: Sumber: Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, 2023
Intensitas kebakaran lahan gambut di Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah, menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya. Data yang dipublikasikan melalui platform SiPongi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan fluktuasi dalam luas kebakaran, dengan adanya peningkatan dan penurunan dari tahun ke tahun. Namun, validitas data ini perlu dipertimbangkan lebih lanjut, karena beberapa laporan lapangan menunjukkan perbedaan signifikan. Sebagai contoh, laporan BPBPK (Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran) Provinsi Kalimantan Tengah mencatat bahwa antara Januari hingga Juli 2021 saja telah terjadi 221 kebakaran hutan dan lahan, mencakup area seluas 369,92 hektar, bertentangan dengan grafik yang menunjukkan penurunan luas kebakaran pada tahun tersebut.
Menurut Rasyid (2014), ada dua faktor utama penyebab kebakaran hutan, yaitu faktor alami dan manusia. Faktor alami seperti musim kering ekstrem akibat El-Nino, sedangkan faktor manusia mencakup pembukaan lahan dengan api, illegal logging, hingga perambahan hutan. Akbar et al. (2013) menambahkan bahwa kondisi lahan gambut dan vegetasi yang mudah terbakar saat kekeringan memperburuk situasi. Lahan gambut juga bersifat kering tak balik (irreversible drying), yang membuatnya sulit menyerap air kembali setelah kekeringan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2019) menyatakan bahwa 99% kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh manusia, dengan hanya 1% dipicu oleh faktor alam. Pembakaran untuk membuka lahan, meski murah, berisiko menyebabkan kebakaran yang sulit dikendalikan, terutama di lahan gambut yang rentan.
Lahan gambut memiliki struktur yang rapuh, sehingga kebakaran menyebabkan perubahan drastis pada komponen fisik dan kimia tanah. Chandler et al. (1983) menyatakan bahwa perubahan ini tergantung pada jenis tanah, kadar air, serta intensitas dan durasi kebakaran. Ratnaningsih dan Prastyaningsih (2017) melaporkan bahwa pada area bekas kebakaran, permukaan gambut menurun sebesar 0,159 cm per bulan, sementara di area tidak terbakar hanya 0,119 cm per bulan. Pembakaran zat hara di lahan gambut menyebabkan proses oksidasi yang meningkatkan jumlah kation basa. Hal ini mendorong peningkatan pH tanah karena kation H+ tergeser. Selain itu, bobot isi tanah juga meningkat akibat pemadatan, sementara abu hasil pembakaran menyumbat pori-pori tanah, yang akhirnya mengganggu proses penyimpanan air tanah sesuai dengan penelitian Depari dan Adi Nugroho (2009). Kombinasi perubahan kimia dan fisik ini berdampak buruk pada kemampuan tanah untuk mempertahankan keseimbangan air dan kualitas tanah secara keseluruhan. Pola serupa terlihat pada fauna tanah, di mana jumlah cacing tanah di lahan gambut terbakar menurun lebih dari 50%. Neary et al. (1999) juga mencatat penurunan mikro dan makrofauna akibat kebakaran, serta degradasi fungsi hidrologi dan sifat fisik tanah. Wasis (2003) menambahkan bahwa kebakaran mengurangi sifat biologi tanah, termasuk jumlah mikroorganisme, fungi, dan C-mic.
Kebakaran lahan gambut tidak hanya merusak fisik lingkungan tetapi juga mengakibatkan perubahan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Di Kalimantan Tengah, lahan gambut yang seharusnya menyerap karbon kini menjadi sumber emisi gas rumah kaca saat terbakar. Keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk flora fauna endemik, terancam seiring dengan berkurangnya luas lahan. Beberapa spesies seperti ramin, jelutung rawa, orang utan, owa, bekantan, serta berbagai burung langka kehilangan habitatnya. Dampaknya juga meluas ke masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya hutan, dengan polusi asap yang merusak kesehatan dan perekonomian.
Berdasarkan berbagai penelitian, jelas bahwa kebakaran lahan gambut tidak hanya membawa kerugian ekologis yang mendalam tetapi juga berdampak pada keseimbangan alam dan kehidupan masyarakat sekitar. Kebakaran ini mempercepat kerusakan struktur tanah, memperparah emisi gas rumah kaca, dan menghancurkan habitat spesies endemik yang rentan. Jika tidak segera ditangani secara serius, perubahan pada fungsi hidrologi, degradasi ekosistem, dan hilangnya keanekaragaman hayati akan semakin sulit dipulihkan.
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga rumusan masalah utama terkait kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Deforestasi, terutama untuk pembukaan lahan perkebunan dan proyek seperti Mega Rice Project, memperbesar risiko kebakaran gambut. Proses ini merusak struktur ekosistem gambut melalui pengeringan dan penurunan muka air tanah. Selain itu, fenomena cuaca ekstrem seperti El Niño memperburuk kondisi tersebut dengan mengurangi kelembaban tanah, sehingga meningkatkan frekuensi dan intensitas kebakaran.
2. Kebakaran lahan gambut menghasilkan polutan udara seperti PM2.5, karbon dioksida, dan gas beracun lainnya yang berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Peningkatan kasus gangguan pernapasan, penyakit kardiovaskular, serta penyakit akibat paparan kronis menjadi isu utama di daerah terdampak, baik secara langsung maupun melalui transboundary haze.
3. Kebakaran gambut menyebabkan degradasi ekosistem, kerusakan habitat, dan hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemik dan terancam punah. Kerusakan ini diperburuk oleh interaksi antara aktivitas manusia seperti deforestasi dan fenomena cuaca ekstrem.
Kesimpulan ini menunjukkan perlunya pengelolaan lahan yang berkelanjutan, reforestasi, pemulihan tata air gambut, dan kebijakan yang mengintegrasikan mitigasi dampak kesehatan, perlindungan keanekaragaman hayati, serta adaptasi terhadap perubahan iklim. Upaya tersebut harus dilakukan secara kolaboratif oleh pemerintah, masyarakat, dan komunitas internasional untuk meminimalkan risiko kebakaran gambut di masa depan.
References
Hein, L., Spadaro, J.V., Ostro, B., Hammer, M., Sumarga, E., Salmayenti, R., Boer, R., Tata, H., Atmoko, D. and Castañeda, J.P., 2022. The health impacts of Indonesian peatland fires. Environmental Health, 21(1), p.62.
Uda, S.K., Hein, L. and Atmoko, D., 2019. Assessing the health impacts of peatland fires: a case study for Central Kalimantan, Indonesia. Environmental Science and Pollution Research, 26(30), pp.31315-31327.
Chandler,C.,P. Cheney, L. Trabaud and D. William. 1983. Fire in Forest Fire Behavior and Effect. 1:171-180 Canada. USA.
Ratnaningsih, A.T. and S.R. Prastyaningsih. 2017. Dampak Kebakaran Hutan Gambut Terhadap Subsidensi di Hutan Tanaman Industri. Wahana Forestra: Jurnal Kehutanan,12(1): 37-43.
Wasis, B. 2003. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap Kerusakan Tanah. Jurnal Manajemen Hutan Tropika (IX)-2: 79–86.
Neary, D.G., Klopatek, C.C., DeBanoc, L.F., Ffolliottc, P.F. 1999. Fire Effects on Belowground Sustainability: A Review and Synthesis. Forest Ecology and Management, 122: 51-71.
Depari, E., & Adinugroho, W.C. 2009. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Fungsi Hidrologi. Makalah Mayor Silvikultur Tropik, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Usup, A., & Hayasaka, H. (2023). Peatland Fire Weather Conditions in Central Kalimantan, Indonesia. Fire. https://doi.org/10.3390/fire6050182.
Rozaki, Z., Nopembereni, E., Rahayu, L., Rahmawati, N., Murhidayah, M., Rejeki, T., Ariffin, A., Azizah, S., & Tjale, M. (2022). Farmers' lives and adaptation strategies toward the forest and peatland fires in Indonesia: Evidence from Central and South Kalimantan, Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity. https://doi.org/10.13057/biodiv/d230515.
Putra, E., & Hayasaka, H. (2011). The effect of the precipitation pattern of the dry season on peat fire occurrence in the Mega Rice Project area, Central Kalimantan, Indonesia. Tropics, 19, 145-156. https://doi.org/10.3759/TROPICS.19.145.
Rahman, A., Tharzhiansyah, M., Rizky, M., & Vita, H. (2021). Problems and urban sustainable development in wetlands based on the thermal conditions. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 780. https://doi.org/10.1088/1755-1315/780/1/012022.
Itoh, M., Okimoto, Y., Hirano, T., & Kusin, K. (2017). Factors affecting oxidative peat decomposition due to land use in tropical peat swamp forests in Indonesia.. The Science of the total environment, 609, 906-915 . https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2017.07.132.
Vetrita, Y., & Cochrane, M. (2019). Fire Frequency and Related Land-Use and Land-Cover Changes in Indonesia's Peatlands. Remote. Sens., 12, 5. https://doi.org/10.3390/rs12010005.
Staal, A., Flores, B., Aguiar, A., Bosmans, J., Fetzer, I., & Tuinenburg, O. (2020). Feedback between drought and deforestation in the Amazon. Environmental Research Letters, 15. https://doi.org/10.1088/1748-9326/ab738e.
Dadap, N., Cobb, A., Hoyt, A., Harvey, C., Feldman, A., Im, E., & Konings, A. (2022). Climate change-induced peatland drying in Southeast Asia. Environmental Research Letters, 17. https://doi.org/10.1088/1748-9326/ac7969.
Imanudin, M., Armanto, M., Wildayana, E., , B., & Junedi, H. (2021). Developing water management objective on tropical peatlands under oil palm cultivation. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 758. https://doi.org/10.1088/1755-1315/758/1/012002.
Imanudin, M., Armanto, M., Wildayana, E., , B., & Junedi, H. (2021). Developing water management objective on tropical peatlands under oil palm cultivation. IOP Conference
Comments